ANALISIS HAK
ANAK
Nama :
Septianto tri wibowo
Kelas :
2ea28
NPM :
18212319
#KONVENSI HAK ANAK #
Pemerintah negara yang telah meratifikasi konvensi ini diharuskan untuk melaporkan dan hadir di hadapan Komite Hak-Hak Anak secara berkala untuk mengevaluasi kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam mengimplementasikan Konvensi ini dan status hak-hak anak dalam negara tersebut. Laporan-laporan tiap negara beserta pandangan tertulis komite dapat diakses di situs komite.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi konvensi ini dan terbuka untuk penandatangan pada tanggal 20 November 1989 (pada peringatan 30 tahun Deklarasi Hak-Hak Asasi Anak). Konvensi ini berlaku pada tanggal 2 September 1990 setelah jumlah negara yang meratifikasinya mencapai syarat. Sampai dengan Desember 2008, 193 negara terlah meratifikasinya, meliputi keseluruhan negara-negara anggota PBB, kecuali Amerika Serikat dan Somalia.
Dua protokol tambahan juga diadopsi pada tanggal 25 Mei 2000. Protokol Tambahan mengenai Keterlibatan Anak-Anak dalam Konflik Senjata membatasi keterlibatan anak-anak dalam konflik-konflik militer, dan Protokol Tambahan Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Perdagangan Anak-Anak, Prostitusi Anak-Anak, dan Pornografi Anak-Anak melarang perdangan, prostitusi, dan pornografi anak-anak. Kedua protokol tambahan ini telah diratifikasi oleh lebih dari 120 negara
Konvensi ini secara umum mendefinisikan seorang anak sebagai umat manusia siapapun yang berusia di bawah 18 tahun, terkecuali apabila telah ditentukan oleh hukum negara bersangkutan.
# HAK PERLINDUNGAN ANAK#
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan pemenuhan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimalsesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi.
Hak Anak
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dimajukan, dilindungi, dipenuhi, dan dijamin oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara.
Pengarusutamaan
Hak Anak
Pengarusutamaan Hak Anak yang selanjutnya disebut PUHA
adalah strategi perlindungan anak dengan mengintegrasikan hak anak ke
dalam setiap kegiatan pembangunan yang sejak penyusunan perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai peraturan
perundangan-undangan, kebijakan, program, dan kegiatan dengan menerapkan
prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
''Tabungan masa depan bangsa
bukanlah uang melainkan generasi muda yang sehat,' Petikan katamutiara ini sungguh dahsyat jika
dijadikan inspirasi untuk menggerakkan animo kesadaran kita, utamanya dalam kontek
meningkatkan pertumbuhan dan pengembangan anak yang dalam struktur sosial nada-nadanya
mengalami ketidakberimbangan, yakni penuh dengan kesenjangan yang berjarak.
Hal ini terlihat mencolok pada level struktural
dan kultural sebagai dimensi pembeda dari anak yang berlatar ekonomi yang
berbeda. Secara kultural, tampilan dan bawaan Anak dari keluarga “miskin”
tampak inferior, dan anak yang surplus ekonomi terlihat superior. Sementara
secara struktural, fakta dari kelas sosial-ekonomi anak dapat terpotret melalui
ukuran fisiknya, seperti tinggi dan berat badan.
Pemerintah saat ini sepertinya masih menganggap bahwa
entitas kebijakan perlindungan anak masih belum menjadi agenda prioritas
nasional, hal ini terlihat dengan agenda pembangunan nasional yang memposisikan
anak menjadi nomor terbelakang, serta terlihat minimnya intervensi politik
anggaran yang diberikan dalam menggerakkan sistem perlindungan anak secara
menyeluruh. Saat ini, model penanganan perlindungan anak belum terkonsolidasi
dengan apik dan baik, dan inovasi kebijakan masih terlihat pola konvensional,
yakni instansi pemerintah yang menangani anak masih banyak terjebak dalam iklim
kerja pemenuhan citra dan mengejar kepuasan persepsi publik semata.
Pemerintah belum memiliki rencana aksi nasional terkait
dengan kebijakan perlindungan anak yang komprehensif yang melibatkan bayak
sektor. Hal ini tampak pada “artifisialisasi” kebijakan dari gugusan dan
rumusan program yang membelah dimana-mana. Padahal kerangka perlindungan anak
secara nasional membutuhkan kerangka induk yang terintegrasi dengan baik.
Indikatornya adalah kualitas regulasi makin bermutu dan dapat dirasakan
manfaatnya tanpa diskrimnasi, respon dan tanggungjawab serta komitmen pemangku
kebijakan, yang tak kalah penting adalah dampak nyata di dalam kehidupan
sosial.
Saat ini, di level instrumentalisasi pelaksana kebijakan,
Kemeneg PP dan PA memang secara departemental paling bertanggungjawab dalam
kegiatan meningkatkan kualitas anak dari berbagai ancaman dan tantangan. Untuk
mengelola kebijakan yang begitu luas, departemen ini tidak bisa menanggung
sendirian dan menjadi seperti “monster raksasa”. Para pejabatnya harus pintarmelakukan
inovasi program, terobosan aksi, dan pandai dalam menganyam komunikasi lintas
sektor.Paradigma inilah yang sekiranya dapat dijadikan modal sebagai
langkah awal membangun dan melindungi anak dari berbagai aneka tipu muslihat
modernisasi dan globalisasi.
Tanpa disadari, kini telah masuk perangkap dunia yang
terglobal. Universalitas tidak bisa dielakkan sebagai sunnatullah yang harus diterima
manusia. Termasuk dalam dunia anak, kita perlu mengkoreksi muatan-muatan budaya
dan perangkat lunak yang menghinggapi anak kita. Kenapa kita harus begitu
memperhatikan di ranah ini? Jawabannya sederhana saja. Pertama, anak adalah
aset bangsa yang harus diperhatikan kualitasnya. Kedua, anak merupakan basis
utama membentuk generasi dalam mempetakan daya kompetitif sosial-politik bangsa
sampai dimana. Ketiga, anak merupakan wajah dari sebuah potret bangsa. Jika
banyak anak yang kurang gizi, maka disitulah “negara” terancam tidak
menjalankan fungsinya, alias gagal. Jika anak suatu bangsa cerdas dan
sehat, disitulah negara berhasil mendesainnya.
Dalam ranah globalisasi, kini para aktor global (bisa
berbentuk korporasi, state, masyarakat sipil,) sudah ramai membidik anak
dijadikan sebagai objekindustri bagi akumulasi ekonomi. Betapa
tidak, kini ruang pertarungan menjadikan anak sebagai komodiiti ekonomi mulai
menjamur. Di kelompok spekulan Production House (PH), anak sudah
banyak ditempatkan sebagai icon, baik
sebagaimagnet edukatif maupun yang hanya sifatnya identitas pembentuk
gaya. Dalam “Islam KTP” misalnya, peran anak sangat sentral dan bisa
berulang-ulang ditonjolkan. Hal yang sama juga dapat kita simak beberapa aktor
cilik yang sudah meluberi jagat dan menghiasi panggung jenaka kita.
Karena itu, elemen-elemen seperti negara, pemerintah dan
masyarakat bisa bahu-membahu mencipta pola perlindungan anak yang programatik,
dan tak kalah dengan inovasi-inovasi para kelompok PH tadi. Hal ini
mengingatkan kita bersama, bahwa melindungi dan memproteksi anak dari hal-hal
dan perilaku yang tak kita hindari merupakan urusan “bersama”. Meski kita akui,
sebagian masyarakat masih mempersepsi bahwa kegiatan menumbuh-kembangkan anak
seolah merupakan beban orang tua, bahkan melingkup menjadi urusan privat kaum
perempuan saja.
Anak merupakan subyek pembangunan yang keberadaannya harus
diperhatikan, baik oleh negara, pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Di
negara manapun, anak menjadi kiblat dari pemetaan atas konstuksi pembangunan
bangsa yang hendak dirancang. Karena itu, negara, pemerintah, dan masyarakat
bisa duduk satu meja mengimplementasikan Undang Undang Perlindungan Anak Nomor
23 Tahun 2002, khususnya terkait dengan Penyelenggaraan Perlindungan di bidang
agama (Pasal 42,43), Kesehatan (Pasal 44,45,46,47), Pendidikan (Pasal 48-54),
dan Sosial (Pasal 55-58), serta perlindungan khusus (Pasal 59-64).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar