KEWARGANEGARAAN
PERUSAK DEMOKRASI
NAMA :
SEPTIANTO TRI WIBOWO
KELAS :
2EA28
NPM :
18212319
Sub Pokok
Bahasan :
Definisi Dari :
1. Banalitas
politik
2. Politik
Pencitraan
3. Narsisme
Demokrasi
4. Intimidasi
Suara
5. Politik
Transaksional
Banalitas Politik
# Kejahatan bukan
karena adanya orang-orang berhati jahat, melainkan karena hilangnya kemampuan
mengambil jarak dari hal-hal yang bersifat sistemik, membudaya, dan mengakar
sebagai perilaku kolektif. Kejahatan bukan hanya masalah moralitas, tetapi juga
masalah absennya kemampuan berpikir rasional, kritis, dan berlandaskan
hati-nurani sebelum bertindak atas nama orang banyak. Maka, kejahatan itu jauh
lebih dramatis dan vulgar ketika dilakukan orang-orang yang tidak sadar telah
bertindak jahat dan merasa hanya menjalankan sesuatu yang lazim terjadi di
lingkungannya. Inilah yang kurang-lebih didedahkan Hannah Arendt sebagai
banalitas kejahatan (the banality of evil), suatu kondisi di mana
kejahatan terjadi pada skala massif, dipraktekkan sebagai sesuatu yang
otomatis, spontan, dan sistematis, hampir sama sekali tidak melibatkan rasa
bersalah
# Bagaimana
keluar dari banalitas kejahatan politik ini? Sulit membayangkannya. Namun, apa
boleh buat, kita tetap harus mencobanya. Kunci utamanya pada ketegasan hukum
dalam menindak pelaku kejahatan politik. Tantangannya, mengutip Goerg Simmel,
ketika kejahatan dilakukan secara kelompok, sulit menentukan siapa yang
bertanggung jawab. Konfidensi timbal balik dan kerahasiaan kolektif
memungkinkan suatu kelompok mengikat anggotanya untuk saling menutupi
kesalahan. Maka, sulit berharap politikus atau pejabat publik mengungkapkan
skandal di sekitarnya karena terikat untuk menjaga kerahasiaan kolektif. Berani
mengungkap kerahasiaan, salah-salah diganjar dengan pemecatan, recall,
atau dikorbankan sendirian seperti yang tampaknya hari-hari ini dialami M.
Nazaruddin dalam skandal pembangunan wisma atlet SEA Games. Kemungkinan ini
yang harus diwaspadai
Politik
Pencitraan
Politik pencitraan itu ialah
penggambaran tentang suatu tokoh dalam situasi dan kondisi apa saja baik
politik, sosial, budaya dll dimana ia berperan aktiv dalam kegiatan politik dan
dia membentuk image diri menjadi sesuatu yang ia inginkan. biasanya politik
pencitraan dilakukan pada saat munculnya sesuatu hal yang sedang ramai di
bicarakan oleh masyarakat, seperti bencana alam, kekerasan, keberhasilan suatu
lembaga dan lain lain
Point-pointnya
dan contoh politik pencitraan :
# Politik pencitraan merupakan
politik di mana yang diutamakan adalah citra para elit yang selalu bagus di
mata rakyatnya, daripada bagaimana memberikan kesejahteraan yang sesungguhnya
buat rakyat.
# Politik pencitraan memng penting bagi seorang presiden, tetapi bukan
segalanya, karena yang terpenting adalah praktik nyatanya untuk rakyat.
# Contoh-contoh bentuk Politik Pencitraan yang di lakukan preisden kita :
Bentuk bentuk politik pencitraan yang
dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diantaranya mengelola sindiran
Taufik Kiemas menjelang pemilu tahun 2004, memperkerjakan kunsultan komunikasi
politik dan fotografer, pembentukan KPK, sering tampil di televisi untuk
melakukan “curhat”, cepat merespon keluhan rakyat namun lambat dalam penanganan
selanjutnya, pembentukan Satgas Mafia Hukum, pembentukan KEN dan KIN.
# Politik pencitraan menimbulkan dampak
positif dan negatif. Namun apabila pencitraan itu hanya mementingkan polesan
dari luar saja tanpa diimbangi langkah nyata maka dampak negatif lebih banyak
daripada dampak positifnya.
Narsisme Demokrasi
Ada suatu
penyakit yang secara sadar atau tidak telah menjangkiti publik dewasa ini,
yakni apa yang disebut sebagai narsisme publik. Jean M Twenge dan W Keith
Campbel dalam buku The Narcism Epidemic: Living in the Age of Enlitlement,
menulis bahwa narsisme telah menjadi sebuah penyakit yang menjangkiti sejumlah
besar individu di dunia.
Itu
terlihat dari begitu banyaknya orang yang semakin tergoda untuk menonjolkan
kekayaan mereka, penampilan fisik mereka, pengidolaan terhadap para selebritas,
dan aneka kegiatan yang condong hanya untuk mencari perhatian
Dan itu
semua sudah Lama Terjadi di Politik Indonesia
Karena
itu, sangat dianjurkan, jika tidak ingin terperangkap ke dalam penyakit dan
endemis narsisme, harus segera kembali ke jalur moral dalam menjalankan hidup.
Perilaku narsis yang hanya menyenangkan diri sendiri harus dijauhkan.
Bagi
penguasa atau pemimpin, segala praksis kekuasaan yang selama ini dilakukan
dengan upaya menyingkirkan orang lain harus dihentikan, dan dimulai dengan
membangun kemurnian dan keteguhan hati untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat
dan/atau orang lain dengan lebih mengorbankan kepentingan diri.
Artinya,
seorang pemimpin harus merasa terhormat dengan menjadikan kekuasaan sebagai
areal pelayanan bagi rakyat, bukan sebagai areal untuk mempertontonkan
kehebatan diri. Kekuasaan harus dipahami ulang sebagai katalis untuk memberi
ruang aktualisasi diri sebagai pelayanan dan pengabdian terhadap kepentingan
rakyat.
Praksis
kekuasaan yang selama ini dilakukan dengan upaya menyingkirkan orang lain demi
pemenuhan selera kepentingan diri yang narsistik harus dihentikan, dan harus
dimulai dengan membangun keutuhan hati untuk mengabdi kepada kepentingan
rakyat.
Di situlah
terpatri kemuliaan diri yang sesungguhnya menjadi keutamaan (virtue)
dalam kehidupan politik, terutama dalam kehidupan sehari-hari di tengah
masyarakat. Semoga kita belum terjangkiti epidemis narsisme yang menjauhkan
kita dari keutamaan dan keagungan hidup
Intimidasi
Suara
Intimidasi
politik pada hakikatnya adalah terorisme politik. Kultur politik kita masih
masih belum beringsut dari pola pemanifestasian kekerasan, ancaman, intimidasi
dan terror. Dalam tahap-tahap tertentu kekerasan fisik diganti dengan simbolis
yang dilakukan melalui wicara. Di Indonesia kedua bentik kekrasan fisik dan
simboles masih acap digunakan. Mafistasi kekerasan simbolis itu tidak
hanya marak dilakukan oleh organisasi masyarakat, tetapi partai politik
sekalipun condong tidak bias melepaskan diri dari jerat kekerasan simbolis.
Intimidasi Partai Golongan Karya (Golkar) yang berencana mencabut dukungan
kepada pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah bentuk dari
kekerasan simbolis melaui wicara. Wacana atau diskursus penarikan dukungan itu
kian mengkristal setelah dipicu dua masalah. Pertama, kasus Gubernur Lampung
yang belum terselesaikan hingga saat ini. Kedua, pembentukan Unit Kerja
Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R). kedua masalah itu
mengilhami sejumlah kader Golkar memproduksi Issue besar penarikan dukungan.
Atmosfer politik sedikit memanas, hubungan Presiden dan Wapres juga sedikit
terganggu.
Suasana
politik yang sempat memanas itu kemudian mendingin setelah Presiden hadir dalam
acara halal bihalal keluaraga besar Partai Golkar di kediaman Ketua Umum Partai
Golkar Jusuf Kalla. Wacana penarikan dukungan mereduksi dan tidak sekuat
sebelum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) II Partai Golkar digelar.
Kita tidak
menyoal perihal meredupnya tuntunan penarikan dukungan. Sejak awal kita sudah
menduga diskursus penarikan dukungan yang disuarakan Partai Golkar tidak lebih
sekedar instrument memperkuat posisi tawar (bargaining posisition). Yang kita
permasalahkan adalah, apakah upaya untuk memperkuat kedudukan dan posisi tawar
partai harus harus dilakukan dengan Intimidasi terror kekerasan dan wacana?
Kita setujudan sependapat dengan pernyataan Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar
Surya Paloh yang mengingatkan partainya agar tidak menggunakan cara-cara tidak elegan
dalam membangun konstruksi perpolitikan bangsa. Ancaman, intimidasi, dan terror
yang di produksi partai Golkar sejatinya harus dilaksanakan jika tidak ingin
dikatakan sekedar geretak sambal. Tetapi, rasionalkah Golkar untuk
merealisasikan ancamannya itu sementara sang Ketua Umum Partai Golkar masih
bercokol sebagai Wapres. Inilah yang tidak bisa dijawab Golkar tanpa meminta
posisi kekuasaan yang lebih dari yang sudah diperoleh sekarang.
Praktik
intimidasi politik dan terorisme politik yang di lakukan oleh Golkar adalah
sebuah proses politisasi yang kerdil dan hanya mempertebal pengelompokan
kepentingan. Control terhadap kekuasaan yang dilakukan Golkar tidak berdasarkan
identifikasi dan evaluasi yang obyektif dan akurat. Tetapi, condong
mendelegitimasi kekuasaan dengan memobilsasi kader. Kekerasan simbolis yang
dilakukan Golkar bersifat premature dan setengah hati karena sejumlah alasan
politis. Maka, tak heran buat kita semua bagaimana partai ini bersikap double
standard terhadap pemerintahan. Di satu sisi menginginkan distribusi kekuasaan
yang lebih besar sebagai partai pemenang Pemilu, tetapi satu sisi mengusung
diskursus oposisi setengah hati ketika distribusi dibatasi.
Mengapa
itu terjadi, karena Partai Golkar (berpura-pura) tidak memahami kekuasaan
sebagai media artikulasi dan agregasi kepentingan seluruh rakyat. Golkar
berpikir tentang diri dan kepentingannya sendiri. Jika setiap partai politik
condong mengembangkan pola intimidasi politik untuk menaikan posisi tawarnya,
apa jadinya negeri ini kelak. Panggung politik nasional bakal sarat dengan
intimidasi dan terror politik.
Politik
Transaksional
Politik
transaksional, sering kita mendengar istilah tersebut. Secara gamblang, orang
yang cukup berpendidikan akan mengartikan bahwa politik transaksional berarti
politik dagang. Ada yang yang menjual, maka ada yang membeli. Tentu semuanya
membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama. Kalau dalam jual-beli,
maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai.
Lantas apakah dalam praktek politik, jika terjadi politik transaksional,
berarti ada jual beli politik? Ada yang memberi uang dan ada yang menerima uang
dalam transaksi politik tersebut. Tentu semuanya masih dalam dugaan saja.
Apakah memang politik transaksional ini selalu berhubungan dengan uang?
Sebenarnya tidak juga. Dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga
berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.
Dalam praktek politik praktis, hampir pasti ada politik transaksional. Karena
pada dasarnya politik adalah kompromi, sharing kekuasaan. Harus dipahami juga,
bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan. Bukan
hanya di Indonesia, tapi juga diseluruh dunia. Karena memang politik adalah
proses pembagian kekuasaan. Di mana seseorang atau sekelompok orang yang meraih
kekuasaan, akan berbagi kekuasaan dengan ornag lain.
Biasanya, pembagian kekuasaan tersebut berkaitan dengan koalisi politik yang
sebelumnya dibangun. Tanpa ada koalisi, kemungkinan adanya politik
transaksional itu sangat kecil. Biasanya, sebelum koalisi dibangun, maka
transaksi-transaksi politik itu harus sudah disepakati. Jika dalam
pelaksanaannya ada pengkhiatan, maka kesepakatan atau transaksi politik itu
bisa dievaluasi atau tidak dilakukan sama sekali.
Ketika baru tahapan koalisi baru berjalan, seperti tahapan Pilkada, maka
transaksi politik itu bisa saja dilakukan. Misalnya, Partai A mengusung calon
bupati, maka Partai B mengusung calon wakil bupati. Jika ada partai lain, maka
partai lain itu akan mendapat jatah lainnya. Misalnya jika pasangan calon yang
diusung itu jadi, akan mendapat jatah dalam kekuasaan nanti. Paling tidak,
partai pengusung itu akan menjadi mitra pemerintah di lembaga legislatif.
Namun ketika pembagian kekuasaan itu tidak dilakukan, maka transaksi politik
bisa diwujudkan dalam hal lain. Misalnya kompensasi dalam bentuk uang. Inilah
yang kadang disebut sebagai politik transaksional. Padahal pengertian
sebenarnya, politik transaksional adalah pembagian kekuasaan politik
berdasarkan kesepatan-kesepakatan politik yang dibuat oleh beberapa partai
politik atau elite politik. Politik transaksional, tidak melulu berkaitan
dengan transaksi keuangan saja. Seperti dalam istilah transaksi itu sendiri,
yang cenderung bernilai ekonomis, masalah uang.
Lantas, apakah politik transaksional itu tidak diperbolehkan? Apakah politik
transaksional itu sama dengan money politics? Sangat relatif dalam melihat
kedua hubungan itu. Karena keduanya memang sangat tipis perbedaannya. Sama
halnya ketika berbicara antara politik uang dengan uang politik. Hanya memutar
frase kata saja, sudah berbeda artinya. Keduanya juga memiliki makna yang
hampir sama, namun berbeda.
Bahwa dalam transaksi politik menimbulkan biaya politik, maka sudah sewajarnya
dalam transaksi itu muncul uang pengganti. Dalam arti, untuk menjalankan
rencana kerja dari transaksi politik itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit.
Maka uang yang digunakan itu merupakan bagian dari politik transaksi. Hal itu
tidak bisa dihindari. Namun jika uang itu hanya digunakan untuk segelintir
orang, hanya sekedar untuk mencapai syarat pencalonan saja. Seperti dalam
Pilkada-Pilkada terdahulu, sangat kental dengan istilah politik transaksional,
yang hanya sekedar alat untuk kepentingannya sendiri